TERASJABAR.ID – Tahun 2025 menghadirkan satu ironi yang menyita perhatian publik, yakni keberadaan bandara di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Sulawesi Tengah.
Bandara ini memunculkan pertanyaan serius tentang kehadiran negara dan kedaulatan.
Bandara IMIP sejatinya bukan fasilitas ilegal. Ia terdaftar resmi di Kementerian Perhubungan dengan kode ICAO WAMP dan IATA MWS, berstatus bandara domestik non-kelas, serta berada di bawah pengawasan Otoritas Bandar Udara Wilayah V Makassar.
Bandara ini menjadi urat nadi mobilitas karyawan dan masyarakat sekitar kawasan industri, terutama karena akses darat yang sulit dan memakan waktu berjam-jam.
Namun fakta di lapangan berbicara lain. Bandara tersebut tertutup, aksesnya dibatasi, dan nyaris tanpa kehadiran simbol negara.
Tidak terlihat otoritas bandara, aparat keamanan, imigrasi, maupun bea cukai. Kondisi ini memunculkan kesan seolah bandara tersebut berada di luar jangkauan negara.
Situasi inilah yang memicu kemarahan Menteri Pertahanan Sjafrie Syamsoeddin saat melakukan kunjungan.
Pernyataannya yang menyebut adanya “republik di dalam republik” menjadi sorotan nasional dan menggambarkan kegelisahan negara terhadap potensi lepasnya kendali kedaulatan di kawasan strategis.
Secara aturan, bandara khusus memang tidak diwajibkan memiliki layanan imigrasi dan bea cukai, serta boleh membatasi akses publik.
Namun ketiadaan kewajiban administratif tidak boleh dimaknai sebagai absennya negara.
Tanpa pengawasan, bandara berpotensi menjadi celah ancaman keamanan nasional, mulai dari penyelundupan hingga mobilitas orang yang tak terkontrol.
Kasus Bandara IMIP menjadi cermin penting sepanjang 2025.
Investasi besar tidak boleh berdiri di atas kompromi kedaulatan. Negara harus hadir, tegas, dan konsisten.
Pengawasan bukanlah hambatan investasi, melainkan fondasi agar pembangunan berjalan seiring dengan keamanan, keadilan, dan kepentingan nasional.-***













