Selanjutnya Responsibilitas: Polri diharapkan mampu bertindak responsif dan bertanggung jawab dalam melaksanakan tugasnya untuk menjamin kepentingan dan harapan masyarakat, kemudian Transparansi Berkeadilan: Polri diharapkan bertindak secara transparan dan berkeadilan dalam segala aspek pelayanan, serta selalu terbuka untuk diawasi. Konsep PRESISI ini bertujuan untuk mewujudkan Polri yang lebih modern, profesional, dan terpercaya dalam melayani masyarakat. Polri juga telah mengembangkan berbagai aplikasi dan sistem online untuk mewujudkan layanan yang lebih terintegrasi dan mudah diakses.
Tentu semua konsep (baca: Teori) PRESISI ini hanya akan benar-bensr berakhir sebagai angan-angan, atau maksimal omon-omon saja, kalau tidak bisa direalisasikan dalam pelaksanaan tugasnya, khususnya dalam Proses Pelaporan Ijazah Palsu JkW sebagaimana disampaikan LSP diatas. Pertaruhan ini mungkin akan bisa menjadi catatan puncak karir LSP menangani orang yang pernah bersama-sama berkarir dari kota Solo ketika LSP masih menjadi Kapolres dan JkW menjabat Walikota semenjak 14 (empat belas) tahun silam, alias tahun 2011.
Hal pertama yang harus menjadi perhatian LSP bila ingin melaksanakan konsep PRESISI ini adalah menertibkan dan mau mengkoreksi kinerja Bareskrim Mabes Polri, khususnya PusLabFor (Pusat Laboratoriun Forensik) agar tidak melakukan hal-hal yang dipertanyakan masyarakat seperti yang dilakukannya kemarin. Hal ini sangat krusial alias penting sekali, karena Puslabfor selalu disebut-sebut telah memenuhi standar internasional dan bahkan diklaim menjadi rujukan dari kepolisian negara-negara tetangga, apalagi Puslabfor ini sudah berusia 71 (tujuh puluh satu) tahun, tepatnya didirikan semenjak tanggal 15/01/54 berdasar Skep Kapolri No.1/VIII/1954.
Dalam kasus Ijazah Palsu ini setidaknya sudah ada 3 (tiga) hal yang disampaikan saat KonPres Bareskrim empat minggu lalu itu bersifat kontroversial, karena tidak sama (bisa juga dikatakan “tidak identik”) dengan fakta yang beredar di masyarakat. Dimulai dari penampilan Ijazah FKT-UGM No 1120 yang hanya ditampilkan secara Fotocopy Hitam-Putih dengan kualitas kurang bagus di Layar besar Presentasinya dan itupun terlihat Terlipat dengan Noda tumpahan cairan di tengah-tengahnya. Padahal katanya Puslabfor sudah memegang (?) ijazah “Asli”-nya, seharusnya bisa di-scan berwarna dengan resolusi tinggi, setidaknya 1200 dpi (dot per nich).
Belum lagi yang dikatakan “tiga pembanding” itu juga tidak transparan disebutkan, padahal dalam Uji identifikasi mandiri yang saya lakukan dan bisa diuji keakuratan (serta kejujurannya, ini yang penting) Ijazah No. 1120 yang disebut-sebut milik JkW itu ternyata terbukti TIDAK IDENTIK dengan Ijazah No. 1115 (Frono Jiwo), No. 1116 (Alm. Hari Mulyono) dan No. 1117 (Sri Murtiningsih). Kemudian ada soal Harian KR (Kedaulatan Rakyat) edisi Jumat Kliwon 18/07/80 alias 05 PASA 1912 yang ternyata FATAL ditampilkan sebagai “05 PUASA 1912”, sebuah hil yang mustahal, kata Srimulat untuk tidak mengatakannya sebagai sebuah Rekayasa yang tidak lucu. Ketiga adalah soal Tahun KKN yang berbeda antara Ucapan Dirtipidum saat KonPres (“… tahun 1983 …”) dan JkW sendiri saat diwawancara kemarin dirumahnya 13/06/25 (“… Tahun 1985 Awal …”) sebagaimana sudah saya tuliskan detailmya di Artikel kematin.