TERASJABAR.ID – Kerusuhan besar yang melanda berbagai kota di Indonesia pada Agustus 2025 menjadi titik balik krusial bagi hubungan masyarakat dan Polri.
Konflik ini dipicu oleh tewasnya pengemudi ojek daring, Affan Kurniawan, yang terlindas mobil rantis Brimob saat pengamanan aksi massa di Jakarta.
Menurut catatan Komnas HAM, tragedi itu memicu kemarahan publik luas, penyerangan Mako Brimob, hingga kerusuhan di Surabaya, Bandung, dan Makassar yang totalnya memakan 11 korban jiwa.
Merespons krisis legitimasi ini, Polri mengakui adanya kegagalan dalam penggunaan kekuatan dan komunikasi di lapangan.
Irjen Pol Achmad Kartiko menyatakan bahwa peristiwa “Prahara Agustus” adalah momentum refleksi organisasi untuk lebih terbuka terhadap kritik.
BACA JUGA: Kaleidoskop 2025: Jejak Pendek Patrick Kluivert di Kursi Garuda
Sebagai langkah konkret, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri melalui Sprin Nomor 2749/IX/2025 guna mengevaluasi layanan institusi secara menyeluruh.
Perubahan mendasar juga dilakukan melalui pergeseran doktrin pengamanan unjuk rasa, dari yang semula bersifat “menjaga” menjadi “melayani” masyarakat dalam menyampaikan pendapat.
Pendekatan ini mengedepankan dialog guna mencegah eskalasi kekerasan dan intervensi pihak luar.
Di tingkat nasional, Presiden Prabowo Subianto membentuk Komisi Percepatan Reformasi Polri yang dipimpin Jimly Asshiddiqie.
Komisi yang melibatkan elemen sipil dan eks Kapolri ini bertugas menyerap aspirasi publik guna menyusun kebijakan reformasi yang komprehensif.
Pada akhir tahun 2025, komisi ini menargetkan perampungan rumusan revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri sebagai landasan hukum baru untuk menciptakan kepolisian yang lebih adaptif dan humanis.-***















