TERASJABAR.ID – Tahun 2025 meninggalkan jejak duka mendalam bagi Provinsi Sumatera Utara.
Salah satu peristiwa yang paling membekas dalam ingatan publik adalah rangkaian banjir bandang yang menerjang berbagai daerah, menelan korban jiwa, merusak rumah warga, serta melumpuhkan fasilitas umum.
Bencana ini bukan hanya menjadi catatan statistik, tetapi juga potret rapuhnya hubungan manusia dengan alam.
Banjir bandang datang tanpa banyak peringatan. Hujan lebat yang mengguyur kawasan hulu sungai dalam waktu singkat berubah menjadi arus deras yang melaju cepat, membawa lumpur, bebatuan besar, dan batang pohon.
Kepanikan terjadi di mana-mana. Warga berusaha menyelamatkan diri, sementara sebagian lainnya terjebak oleh derasnya aliran air.
Dalam hitungan menit, lingkungan yang sebelumnya tenang berubah menjadi lokasi bencana.
Berdasarkan kajian kebencanaan, banjir bandang dipicu oleh beberapa faktor utama.
Karakteristik sungai dengan kemiringan curam dan kerapatan alur yang tinggi membuat air hujan cepat terkonsentrasi.
Akumulasi debit air yang melonjak drastis, ditambah kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) yang tidak mampu menahan limpasan, mempercepat terjadinya banjir.
Faktor longsor juga memperparah situasi, ketika lereng yang tidak stabil runtuh dan menutup alur sungai, lalu jebol bersamaan dengan tekanan air.
Sepanjang 2025, sedikitnya 13 daerah di Sumatera Utara terdampak, mulai dari Langkat, Mandailing Natal, Tapanuli Tengah, hingga kawasan perkotaan seperti Medan dan Binjai.
Skala bencana yang meluas ini menunjukkan bahwa banjir bandang bukan lagi ancaman lokal, melainkan persoalan regional yang kompleks.
Pemerintah bergerak cepat dengan menurunkan tim evakuasi, membuka posko darurat, serta menyalurkan bantuan logistik.
Namun di balik respons darurat tersebut, muncul refleksi penting: bencana ini tidak sepenuhnya peristiwa alam.
Alih fungsi lahan, kerusakan hutan di wilayah hulu, serta tata ruang yang tidak ramah lingkungan turut memperbesar risiko.
Kaleidoskop 2025 di Sumatera Utara mencatat banjir bandang sebagai pengingat keras bahwa pembangunan tanpa keseimbangan ekologis memiliki harga mahal.
Di tengah duka dan kehilangan, peristiwa ini menjadi pelajaran kolektif tentang pentingnya menjaga alam, memperkuat mitigasi bencana, dan menempatkan keselamatan manusia sebagai prioritas utama.-***

















