Rencana Dedi Mulyadi ini memang memicu pro dan kontra di masyarakat. Pendukung kebijakan ini, sebagaimana terlihat dari beberapa unggahan di X, berpendapat bahwa pendekatan militer dapat memberikan “terapi kejut” dan menanamkan kebiasaan disiplin pada anak-anak yang dianggap sulit diatur akibat pola asuh yang kurang tepat.
Namun, banyak pula yang khawatir program ini dapat melanggar hak pendidikan siswa dan berpotensi menimbulkan dampak psikologis negatif, seperti trauma atau stigma sosial.
Latar belakang Dedi Mulyadi sebagai politisi dan budayawan yang dikenal dengan kebijakan berbasis budaya Sunda selama menjabat sebagai Bupati Purwakarta (2008–2018) membuat rencana ini semakin disorot.
Ia pernah menerapkan aturan ketat, seperti larangan berpacaran atau bertamu lewat pukul 21.00, yang juga menuai kontroversi. Kini, sebagai gubernur, Dedi tampaknya ingin menerapkan pendekatan serupa dengan skala lebih besar untuk menangani kenakalan remaja di Jawa Barat.
Sementara itu, Joko Anwar, yang dikenal lewat karya-karyanya seperti Satan’s Slaves, Gundala, dan serial Netflix Nightmares and Daydreams, kerap vokal mengomentari isu sosial. Sebagai sutradara yang peka terhadap dinamika emosional dan psikologis, kritiknya terhadap Dedi mencerminkan pandangannya bahwa solusi untuk kenakalan remaja harus berfokus pada pendekatan humanis, bukan disiplin militer yang bersifat otoriter.
Debat publik mengenai kebijakan ini terus bergulir di media sosial, dengan banyak warganet mempertanyakan efektivitas dan dampak jangka panjang program tersebut.
Beberapa menilai Dedi berupaya menunjukkan ketegasan dalam menangani masalah sosial, sementara yang lain mendukung pandangan Joko Anwar bahwa pendekatan berbasis empati dan pemahaman lebih relevan untuk generasi muda. Hingga kini, Dedi belum memberikan tanggapan resmi atas kritik Joko, tetapi isu ini diperkirakan akan terus menjadi perbincangan hangat di Jawa Barat dan nasional.