Sejarah menunjukkan bahwa Iran pernah mencoba mengganggu lalu lintas di Selat Hormuz, misalnya selama Perang Iran-Irak (1980-1988) dengan menyerang kapal tanker dan menanam ranjau laut. Meski gagal menutup selat sepenuhnya, aksi ini menyebabkan kenaikan premi asuransi dan kemacetan pelayaran. Jika Iran benar-benar memblokade selat pada 2025, risiko konfrontasi militer akan meningkat, dengan potensi eskalasi menjadi perang regional atau bahkan konflik global yang lebih luas, sebagaimana dikhawatirkan beberapa analis.
Namun, beberapa pakar meragukan kemampuan atau kemauan Iran untuk menutup selat secara total. Vandana Hari dari Vanda Insights menyebut pemblokiran sebagai “risiko jarak jauh” karena kehadiran armada AS yang kuat dan potensi kerugian besar bagi Iran sendiri, termasuk alienasi terhadap China—pasar minyak utamanya—dan negara-negara Teluk yang saat ini bersikap netral.
Benarkah Krisis Global Akan Terjadi?
Klaim bahwa penutupan Selat Hormuz akan memicu “krisis global” atau bahkan “perang dunia” tidak sepenuhnya berlebihan, tetapi perlu dilihat secara kritis. Dampak ekonomi dari lonjakan harga minyak dan gangguan pasokan energi akan sangat signifikan, terutama bagi negara-negara pengimpor minyak. Namun, beberapa faktor dapat meredam krisis:
- Cadangan Minyak: Negara-negara seperti AS, China, dan Jepang memiliki cadangan minyak strategis yang dapat digunakan untuk menstabilkan pasokan sementara.
- Produksi Alternatif: Arab Saudi dan UEA memiliki kapasitas cadangan sekitar 3,5 juta barel per hari yang dapat ditingkatkan untuk mengimbangi gangguan.
- Diplomasi: Tekanan internasional, termasuk dari China dan negara-negara Asia lainnya, dapat mendorong Iran untuk menghindari pemblokiran total demi menjaga hubungan ekonomi.
Di sisi lain, risiko eskalasi militer tetap nyata. Jika konflik meluas melibatkan AS, NATO, dan negara-negara Teluk, dunia bisa menghadapi krisis yang lebih kompleks, tidak hanya di sektor energi tetapi juga keamanan global. Ancaman “perang dunia” mungkin berlebihan, tetapi ketegangan geopolitik yang meningkat dapat memperburuk ketidakstabilan di Timur Tengah dan memengaruhi ekonomi dunia secara luas.
Penutupan Selat Hormuz oleh Iran, jika benar-benar terjadi, akan menjadi pukulan berat bagi pasar energi global, dengan harga minyak berpotensi melonjak hingga $150-$200 per barel. Dampaknya akan meluas, mulai dari inflasi dan resesi ekonomi hingga risiko konflik militer regional. Meski begitu, kemampuan Iran untuk mempertahankan pemblokiran dalam jangka panjang dipertanyakan, mengingat tekanan militer dan diplomatik dari AS dan sekutunya. Bagi Indonesia, krisis ini dapat memperburuk beban subsidi energi, tetapi juga membuka peluang ekspor komoditas. Dunia kini menunggu keputusan final Iran dan respons global untuk menentukan apakah ancaman ini akan menjadi kenyataan atau sekadar gertakan strategis.