Lonjakan Harga Minyak: Prediksi dan Dampak
Para analis memprediksi harga minyak dunia akan melonjak tajam jika Selat Hormuz ditutup. Estimasi bervariasi, mulai dari $110 hingga $200 per barel, tergantung pada durasi dan skala gangguan. Sebagai perbandingan, harga minyak Brent telah naik 13% sejak konflik Iran-Israel memanas pada 13 Juni 2025, dan kontrak berjangka minyak mentah melonjak lebih dari 10%. Penutupan total bisa mendorong harga ke level $150 atau bahkan $200 per barel, seperti yang diperkirakan oleh beberapa ahli.
Kenaikan harga minyak akan memicu efek domino di berbagai sektor:
- Inflasi Global: Harga bahan bakar, transportasi, dan barang konsumsi akan meroket, memperburuk inflasi di negara-negara pengimpor minyak seperti AS, China, India, dan Indonesia.
- Gangguan Ekonomi: Sektor manufaktur, transportasi, dan pertanian akan terpukul keras karena kenaikan biaya energi. Rantai pasok global, yang bergantung pada bahan baku dan barang jadi, juga akan terganggu akibat kenaikan biaya logistik dan premi asuransi pelayaran.
- Resesi Ekonomi: Lonjakan inflasi dan biaya energi dapat mendorong ekonomi global ke jurang resesi, terutama di negara-negara yang bergantung pada impor energi. Bursa saham dunia diperkirakan akan mengalami volatilitas tinggi, dengan potensi penurunan tajam.
Bagi Indonesia, sebagai negara pengimpor minyak bersih, kenaikan harga minyak akan meningkatkan biaya produksi bahan bakar dalam negeri dan membebani subsidi energi. Ekonom Nailul Huda dari CELIOS memperingatkan bahwa kenaikan harga impor minyak dapat menguras anggaran negara (APBN) dan mempersempit ruang fiskal, sementara inflasi domestik akan melonjak. Namun, Indonesia juga bisa mendapat keuntungan dari kenaikan harga komoditas energi, seperti ekspor minyak dan gas, meskipun dampak positif ini terbatas.
Risiko Geopolitik: Dari Krisis Energi ke Konflik Regional
Penutupan Selat Hormuz bukan hanya ancaman ekonomi, tetapi juga pemicu potensial konflik militer yang lebih luas. Iran telah lama memandang selat ini sebagai “senjata strategis” untuk menekan musuh-musuhnya, terutama AS dan Israel. Namun, langkah ini juga berisiko memicu respons militer dari AS, yang memiliki armada angkatan laut kuat di kawasan tersebut, serta sekutu NATO seperti Inggris dan Prancis. Negara-negara Teluk, seperti Arab Saudi dan UEA, yang ekonominya bergantung pada ekspor minyak, juga kemungkinan akan mendukung intervensi militer untuk membuka kembali selat.