Oleh : Subchan Daragana / Magister Komunikasi Universitas Bakrie
(Saat Jabatan Mengalahkan Nurani)
Belajar Memimpin dari Diri dan Rumah
Hampir setiap tahun, bahkan setiap bulan, publik Indonesia dikejutkan oleh kabar pejabat yang terjaring operasi tangkap tangan. Dari kepala daerah, pejabat kementerian, hingga aparat penegak hukum, satu per satu terseret kasus korupsi. Ironisnya, mereka semua datang dari proses kepemimpinan yang sah dipilih rakyat, diangkat negara, disumpah atas nama Tuhan. Namun, di titik tertentu, kekuasaan runtuh oleh kelemahan yang sangat mendasar: gagal memimpin diri sendiri.
Imam Al-Ghazali sejak berabad-abad lalu telah mengingatkan bahwa kepemimpinan bukanlah kehormatan, melainkan amanah yang berat. Jabatan tidak meninggikan derajat seseorang, justru menambah beban tanggung jawab di hadapan Allah dan manusia. Karena itu, pemimpin sejati lebih sibuk menjaga dirinya daripada mengejar pujian. Ketika pesan ini diabaikan, kepemimpinan berubah menjadi ilusi tampak berwibawa di luar, rapuh di dalam.
Banyak pemimpin hari ini piawai berpidato tentang integritas, namun gagal menundukkan nafsunya sendiri. Padahal, Rasulullah ﷺ telah memberi ukuran yang sangat jelas: “Orang kuat bukanlah yang menang dalam bergulat, tetapi yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam konteks kepemimpinan, kekuatan sejati bukan pada kuasa mengatur orang lain, melainkan pada kemampuan mengontrol diri saat godaan datang.
Krisis ini sejatinya bisa dibaca dari ruang paling dekat: rumah. Kepemimpinan tidak lahir seketika di kantor atau podium kekuasaan. Ia dibentuk dalam keseharian bagaimana seseorang mengelola emosinya, menjaga lisannya, menepati janji kecil, dan bertanggung jawab pada keluarganya. Dalam Islam, laki laki disebut sebagai qawwam, pemimpin dalam rumah tangga. Jika memimpin keluarga saja gagal dengan adil, sabar, dan jujur, bagaimana mungkin ia dipercaya memimpin masyarakat yang jauh lebih kompleks?.
Dalam perspektif komunikasi, kepemimpinan adalah soal konsistensi pesan dan teladan. Komunikasi paling kuat bukanlah kata-kata, melainkan perilaku. Ketika seorang pemimpin berbicara tentang penghematan tetapi hidup bermewah-mewahan, publik membaca kontradiksi. Ketika ia mengampanyekan antikorupsi namun dibelakang ia menyalahgunakan wewenang, pesan runtuh. Inilah yang disebut para ahli sebagai “credibility gap”, jarak antara apa yang diucapkan dan apa yang dilakukan.











