TERASJABAR.ID – Hari Ibu sering kita rayakan dengan bunga, senyum, dan ucapan terima kasih. Namun jarang kita berhenti sejenak untuk bertanya apa makna sejatinya hari ini. Apakah ia hanya tentang seorang ibu di dapur, atau tentang perempuan yang berdiri tegak menjaga martabat hidup?
Di Indonesia, Hari Ibu lahir dari rahim perjuangan. Kongres Perempuan Indonesia 1928 bukanlah pertemuan air mata sentimental, melainkan forum kesadaran perempuan adalah subjek sejarah, bukan pelengkapnya. Mereka berbicara tentang pendidikan, pernikahan, kemerdekaan, dan masa depan bangsa. Hari Ibu, pada hakikatnya, adalah hari kebangkitan perempuan Indonesia.
Namun waktu kerap mengaburkan makna. Perempuan sering dipuji karena pengorbanannya, tetapi dilupakan hak dan suaranya. Ibu dimuliakan, tetapi perempuan dibatasi. Padahal menjadi ibu adalah salah satu peran mulia, bukan satu-satunya identitas.
Di sinilah Hari Perempuan Internasional mengingatkan kita bahwa perempuan juga berhak atas ruang aman, keadilan, pendidikan, dan pengakuan. Bukan untuk melawan kodrat, tetapi untuk menjaga kemanusiaan.
Bukan untuk menyaingi laki-laki, tetapi untuk berjalan sejajar dalam tanggung jawab kehidupan.
Refleksi ini mengajak kita jujur pada diri sendiri. Apakah kita menghormati perempuan hanya saat mereka berkorban, atau juga saat mereka bersuara?
Apakah kita memuliakan ibu hanya dengan pujian, atau dengan kebijakan, keadilan, dan empati?
Perempuan bukan simbol. Ia adalah manusia utuh. Ibu bukan slogan. Ia adalah amanah peradaban.
Maka Hari Ibu dan Hari Perempuan bukanlah soal tanggal, melainkan tentang kesadaran bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menjaga martabat perempuannya dalam rumah, di ruang publik, dan di dalam nurani.
Selamat Hari Ibu. Selamat menjaga kemanusiaan.












