“BMKG berada di hulu. Kami menyediakan data, kemudian didukung big data dan analisis. Selanjutnya, di Disaster Management Command Center ditetapkan langkah-langkah yang harus dilakukan,” ujarnya.
Ia menjelaskan, hasil analisis tersebut kemudian didiseminasikan melalui berbagai kanal komunikasi, mulai dari peringatan dini resmi, media sosial, hingga aplikasi perpesanan.
Diseminasi informasi yang cepat, tepat, akurat, dan mudah dipahami menjadi kunci agar peringatan dini tidak berhenti pada penyampaian pesan, tetapi mampu mendorong aksi penyelamatan di lapangan.
“Intinya BMKG bekerja di hulu memberikan early warning. Harapannya, nanti dapat tidak hanya sampai pesan peringatan dininya, tapi juga dapat dipahami dan menimbulkan aksi penyelamatan atau early action menuju Zero Victim,” jelasnya.
Untuk mendukung sistem tersebut, BMKG saat ini mengoperasikan lebih dari 191 unit pelaksana teknis (UPT) yang tersebar di seluruh Indonesia, dengan dukungan sekitar 10.800 peralatan operasional utama.
BMKG juga mengelola 44 radar cuaca berstandar World Meteorological Organization (WMO), sejumlah stasiun Global Atmosphere Watch (GAW), serta dua superkomputer yang berlokasi di Jakarta dan Bali.
Berbagai sistem peringatan dini berbasis multi-bahaya juga turut dioperasikan BMKG, seperti Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS), Meteorological Early Warning System (MEWS), hingga Tropical Cyclone Warning Center (TCWC), yang dirancang untuk memberikan peringatan secara cepat dan akurat.
Selain penguatan peringatan dini, BMKG juga melaksanakan Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) sebagai bagian dari upaya mitigasi dampak cuaca ekstrem, termasuk untuk mengurangi risiko banjir serta kebakaran hutan dan lahan di wilayah rawan bencana.

















