Bahkan, KDM secara eksplisit menyatakan tidak ingin “dibuntuti” atau selalu membawa wartawan dalam setiap kegiatan. Ini bukan hanya bentuk pelecehan terhadap tugas jurnalistik, tetapi juga mencerminkan ketidaktahuan mendasar mengenai fungsi pers sebagai kontrol sosial dan pengawas jalannya pemerintahan.
Menurut Ilmi, KDM mengasosiasikan kritik terhadap dirinya sebagai bentuk kegusaran media akibat pemotongan anggaran publikasi. Ini adalah kesimpulan keliru sekaligus simplistik.
KDM gagal membedakan antara kerja jurnalistik yang independen, kritis, dan berbasis fakta, dengan biaya iklan atau publikasi berbayar yang bersifat transaksional dan promosi.
“Kami mengingatkan Gubernur: jurnalis bukan pegawai humas, bukan pembawa kamera pribadi, apalagi buzzer politik. Kerja jurnalistik hadir bukan untuk menyenangkan, tetapi untuk menyeimbangkan narasi kekuasaan. Ia hadir bukan karena dibayar, tapi karena demokrasi membutuhkan transparansi dan akuntabilitas,” ujar Jubir KAWANI Ilmi Hata.
KAWANI lanjut Ilmi, mendesak Gubernur Dedi Mulyadi untuk membuka ruang yang setara bagi jurnalis dalam menjalankan fungsi kontrol sosial, bukan justru mengasingkan mereka.