Setelah itu di sebelah kanan jalan ada lapangan sepak bola. Suasananya sangat ramai. Sepertinya sedang berlangsung kompetisi sepak bola anak-anak.
Setelah Mayang kontur jalan sudah mulai naik turun. Tapi jalan naiknya yang lebih banyak. Syukurnya, saya masih cukup kuat mengayuh. Tanpa over gigi depan.
Sekitar jam 08.00 saya berhenti di depan Masjid Istikmal, Sumberjati. Istirahat sebentar saja. Lalu jalan lagi berhadapan dengan tanjakan. Panjang. Sampai daerah Sempolan.
Di pom bensin Garahan, Kecamatan Silo, saya berhenti lagi. Kali ini untuk pasang kaos kaki. Sejak naik ke Sempolan kaki mulai terasa dingin. Lama-lama bisa keram. Dari berangkat start saya memang tidak berkaos kaki karena tadi kaki dalam keadaan basah.
Seorang pedagang asong mendekat, menyapa membuka percakapan. “Dari jauh pak,” katanya. Sekilas saya perhatikan pedagang asong ini masih muda. Remaja tanggung. Paling 20 tahunan. “Iya, Dari Bandung,” jawab saya.
Kami lalu berbincang-bincang. Anak muda ini baru berumur 23 tahun. Seumuran anak bungsu saya. Bernama Ariyanto, mahasiswa jurusan manajemen Universitas Terbuka. “Saya jualan hanya beberapa jam saja, menggantikan bapak sementara beliau istirahat,” katanya.
Saya berikan Ariyanto pisang ambon yang dibekali Pakde Duhmeno. Satu tapi berukuran besar.
Yang mengejutkan saya, Ariyanto tiba-tiba memberikan satu bungkusan berisi getuk dari dagangannya. “Ini untuk bapak,” katanya.
Situasi dilematis saya hadapi. Di satu sisi saya tidak boleh menolak rezeki, di sisi lain saya tidak tega dia memberi barang dagangannya untuk saya. Akhirnya saya menolak pemberiannya. “Simpan saja. Ini bekal saya masih banyak. Saya justru mau kurangi,” kata saya. Untungnya dia mengerti alasan saya.