Sambil ngopi saya memeriksa pesan di hape. Ternyata saya menerima beberapa pesan whatsapp mengomentari perjalanan saya. Alhamdulillah, rata-rata menyemangati saya dan berdoa akan kelancaran perjalanan saya.
Selesai kultum saya kembali ke kapsul tempat tidur. Mengemasi barang dan pergi mandi. Yang menarik, masing-masing bilik di kamar mandi diberi nama pemberi wakaf kamar mandi tersebut.
Sekitar jam 07.00 saya dorong sepeda dari tempat parkir. Maksudnya mau foto dulu sebelum meninggalkan Al Falah. Beberapa jamaah yang ada di situ malah ngajak foto dulu. Mereja keheranan mendengar saya hendak ke Papua bersepeda dari Bandung. Seorang diri pula. “Hati-hati, pak. Semoga aman dan lancar,” kata Pak Budi pensiunan guru SMAN 2 Sragen.
Masjid Al Falah di Sragen ini juga menjadi simbol kearifan bangsa Indonesia. Persis bersebelahan dengan masjid, ada Gereja Kristen Jawa. Bertahun-tahun masjid dan gereja ini berdiri berdampingan rukun menunjukkan toleransi beragama.
Saya melewati jalanan kota Sragen yang masih sepi. Jalannya lebar dan datar. Cuaca sangat bersahabat. Setelah Alun-alun di sebelah kiri jalan ada Lembaga Pemasyarakatan Sragen. Dulu tahun 2019 saya pernah masuk ke sana. Tentu saja bukan sebagai warga binaan.
Saya masuk ke LP Sragen untuk wawancara pimpinannya : Yosep Yembise. Waktu itu saya diantar anak sulung saya : Indiana, mengerjakan penulisan buku biografi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak : Yohana Yembise.
Karena kontur jalannya datar, saya bisa melaju kencang. Baru berhenti di Masjid Nurul Iman daerah Sambung Macan. Sebentar saja untuk minum. Sekilas saya perhatikan masjid ini memiliki tulisan Allah yang dibingkai dalam segi lima. Saya ingat ini ciri masjid yang dibantu YAMP (Yayasan Amal Muslim Pancasila). Badan amal yang dipimpin Pak Harto.