Pagi ini Pak Nyoman Dama menyuguhi saya sarapan bubur ayam. Bubur khas Jakarta yang jualan tidak jauh dari rumahnya. Enak.
Sambil sarapan kami berbincang tentang tradisi masing-masing. Terutama tentang tradisi orang Hindu. Saya sungguh merasa senang karena mendapat pengetahuan tentang keseharian orang Hindu dari orang Hindu langsung.
Sesuai dengan rencana, hari ini saya melanjutkan perjalanan ke Padang Bai. Lalu lanjut ke Pulau Lombok. Saya tidak berlama-lama di Denpasar karena memang tidak punya agenda. Tempat-tempat ikonik di Denpasar sudah pernah saya datangi sebelumnya.
Biasanya saya menyempatkan diri mengunjungi pasar. Menurut saya melihat keseharian warga lokal paling pas itu ya di pasar. Tapi kali ini saya melewatkan kesempatan itu.
Di Denpasar ini dulu, sekian tahun silam, pernah tinggal kakak kandung saya Taufan Rahwana. Beberapa tahun. Adik sepupu saya Yenni Mareta juga pernah beberapa tahun jadi warga Denpasar. Dua anaknya kelahiran Denpasar.
Rumah Pak Nyoman Dama di Seminyak ini hanya beberapa ratus meter saja dari pantai. Namun saat menuju Titik Nol Denpasar yang menjadi Tikum (titik kumpul) kami hari ini, Pak Nyoman Dama mengajak saya melewati jalan tikus. Benar-benar jalan tikus yang hanya bisa dilalui sepeda karena ada bagian sepeda yang harus diangkat untuk melewati portal.
Di Titik Kilometer Nol Denpasar sudah menunggu Pak Ketut Parma dan Pak Ketut Wiratma yang bersama-sama akan mengawal saya ke Padang Bai. Bapak-bapak Ketut ini meski sudah sepuh masih sangat bersemangat. Maklumlah mereka pensiunan polisi.
Di Titik Nol ini saya juga janjian untuk bertemu dengan aktivis PKS Bang Ata, yang dikenalkan Erwyn Kurniawan. Bang Ata tinggal di Bedugul, beberapa puluh kilometer dari Denpasar. “Alhamdulillah akhirnya kita bisa berjumpa. Senang sekali melihat goweser bersemangat,” katanya.