Ruang utama masjid ini mirip pendopo. Tidak ada dinding di sisinya. Mungkin karena strukturnya begitu, tidak terlihat AC atau kipas angin. Karena udara bebas keluar masuk. Hanya ada satu AC portable kelihatan diletakkan di muka area imam.
Di area belakang kanan terlihat ada bedug ukuran besar. Sepertinya hanya pelengkap saja. Sebab waktu masuk shalat jum’at, azan langsung terdengar bekumandang. Bedugnya tidak ditabuh. Yang keren azannya mengikuti irama azan Madinah.
Yang juga menarik perhatian saya, masjid ini membiarkan satu bekas telepon umum yang sudah tidak digunakan lagi tetap terpasang di satu pojok bangunan masjid. Mungkin maksudnya sebagai kenang-kenangan kita pernah ada di zaman itu.
Satu hal lagi. Petugas yang melayani jamaah di bagian penitipan sepatu/sandal dan pembagian jum’at berkah adalah mahasiswi. Ini mungkin yang membuat mahasiwa jadi semangat shalat di masjid kampus.
Makin siang jamaah makin banyak. Masuk waktu jum’at, saya duduk di bagian tengah, supaya bisa mendengarkan khutbah dengan khidmat. Yang sempat saya ingat adalah khotib menyampaikan ada 7 kiat mempertahankan konsistensi iman. Detail 7 kiat itu saya sudah tidak ingat lagi.
Selesai khutbah, khotib turun dari mimbar dan bersiap menjadi imam memimpin shalat.
“Allahu Akbar…,”
Bersamaan dengan itu terdengar suara gemuruh yang sangat keras. Kubah yang tinggi di atas kepala saya juga terasa sedang menerima sesuatu. Hujan !
Rakaat pertama shalat Jum’at hari ini saya kehilangan konsentrasi. Kurang khusyu. Pikiran saya langsung ke sepeda. Meski terlindung di antara pepohonan, dengan kondisi hujan yang amat deras seperti ini sudah pasti barang bawaan saya akan basah kuyup. Meski sempat panik, saya berangsur pasrah dan mulai bisa mengikuti shalat Jum’at dengan lebih khusyu. “Ya sudahlah gimana nanti, pasti ada jalan keluarnya,” pikir saya dalam hati.
Begitu imam selesai mengucapkan salam, banyak jamaah yang berhamburan keluar. Termasuk saya. Padahal hujan masih mengguyur dengan jelas. Saya kira mereka berlarian ke tempat parkir, ternyata mereka ke konter pembagian jum’at berkah. Ya sudah sekalian saja ikut.
Setelah mendapat bungkusan jum’at berkah saya dekati sepeda saya. Dari jauh sudah kelihatan barang bawaan saya basah semua. Menembus hujan saya tuntun sepeda pindah parkir ke tempat yang agak terlindung di depan toilet perempuan. Setelah itu saya duduk membuka bungkusan nasi berkah tadi dan menyantapnya. Menunya nasi dengan opor ayam. Alhamdulillah.
Setelah hujan reda saya baru bergerak. Akan menjadi kenangan bahwa Masjid Kampus UGM pernah memberi siraman berkah kepada sepeda saya. Berkah hujan.
Tujuan saya ke arah Babarsari. Petunjuk peta googlemaps mengarahkan saya untuk lewat Selokan Mataram. Mungkin di setengah perjalanan, hujan turun lagi. Deras pula. Saya neduh lagi. Saya neduh di kios kosong. Bersama saya ada juga pedagang salak yang sedang neduh. Kami saling membagi senyum kecut menerima berkah ini. Beberapa menit kemudian hujan agak reda. Saya kenakan jas hujan dan kembali mengayuh sepeda ke Babarsari. Dah kagok basah semua.
Tiba di Kampus UP 45 saya langsung menuju gedung rektorat. Kampus kecil ini terasa asri. Di lantai 2 di ruang rektor Pak Benedictus Renny See sudah menunggu. Di ruang itu ada juga Pak Andrianto Agus Purnomo. Kami berjabat tangan dengan hangat.