Di ujung jalan Sutisna Sanjaya ini kita bertemu Lapangan Udara Wiriadinata. Semula hanya untuk kepentingan militer, namun dalam perkembangannya bandara ini kemudian menjadi bandara komersial.
Masuk daerah Manonjaya, saya berhenti sebentar di Masjid Agung. Masjid ini adalah salah satu basis penting dalam perjuangan ulama dulu. Masjid ini menjadi saksi sejarah masuk dan perkembangan agama Islam di Priangan Timur.
Beberapa kilo dari masjid ada pertigaan akses jalan menuju Jembatan Cirahong. Jembatan ini penghubung perbatasan Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis di atas Sungai Citanduy. Panjangnya 202 meter. Saya tak melewatkan kesempatan untuk merasakan keseruan bersepeda di Jembatan Cirahong. Dulu saya pernah kesini, tapi naik mobil. Jadi hanya bisa sampai area parkir saja.
Dari jalan raya Tasik-Banjar jaraknya sekitar 2 kilometer. Dan cenderung turunan. Tiba di jembatan saya ikut antrian motor yang hendak nyeberang. Ada Pak Ogah yang mengatur arus lalu lintas bergantian dari arah seberang.
Tiba giliran saya masuk dan berkendara di dalam jembatan perasaan saya dag dig dug juga. Berkali-kali saya disalip motor yang menganggap saya lambat sekali. Suara ban motor melindas papan jembatan yang sebagian tidak terpaku dengan baik menimbulkan efek seram juga. Ngeri-ngeri sedap untuk saya yang tidak biasa.
Lepas dari jembatan saya melipir ke warung yang ada di pinggir jalan. Ngopi dulu. Plus bala-bala dua. Bari menyaksikan kesibukan orang yang mau nyeberang.
Jembatan ikonik di Ciamis ini memang unik. Inilah satu-satunya jembatan susun kereta api dengan kendaraan lain dibawahnya. Untuk keselamatan, mobil dilarang lewat sini. Bila pas ada kereta lewat saat kita berkendara, pasti menberi sensasi tersendiri. Sensasi ngeri.
Karena keindahan bentuknya itu tidak heran kalau banyak yang main kesini. Semacam wisata sederhana.