Polres Garut bersama Polda Jawa Barat membentuk tim khusus untuk menyelidiki kasus ini. Kapolres Garut, AKBP Mochamad Fajar Gemilang, mengatakan bahwa identitas pelaku sudah dikantongi, namun MSF belum ditemukan hingga 15 April 2025.
- Kronologi Penyelidikan: Polisi telah memeriksa lima saksi dari Klinik Karya Karsa dan memverifikasi lokasi kejadian berdasarkan CCTV. Satuan Reserse Kriminal Polres Garut berupaya menemukan MSF dalam waktu 1×24 jam untuk penyelidikan lebih lanjut.
- Posko Pengaduan: Polres Garut membuka posko pengaduan bagi korban lain yang mungkin mengalami tindakan serupa, dengan jaminan kerahasiaan identitas.
- Status Terkini: Berlawanan dengan beberapa laporan awal yang menyebut MSF ditangkap, polisi menegaskan bahwa hingga malam 15 April 2025, pelaku masih dalam pencarian.
4. Respons Otoritas dan Sanksi
Kasus ini memicu reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk pejabat pemerintah dan organisasi profesi:
- Dinas Kesehatan Garut: Kepala Dinas Kesehatan, dr. Leli Yuliani, mengkonfirmasi bahwa kejadian terjadi di klinik swasta, bukan fasilitas pemerintah. Ia juga menyebut MSF pernah bekerja di RS Malangbong, tetapi kontraknya dihentikan sejak akhir 2024. Leli menyinggung adanya kasus serupa pada 2024 yang diselesaikan secara kekeluargaan dengan melibatkan aparat penegak hukum.
- POGI dan IDI: Ketua Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), Prof. Dr. Yudi Mulayana Hidayat, menyatakan bahwa MSF telah dipanggil tiga kali untuk klarifikasi, tetapi tidak hadir. POGI berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan dan IDI Jawa Barat untuk memberikan sanksi, termasuk kemungkinan pencabutan izin praktik jika pelanggaran etik terbukti.
- Pemerintah Daerah: Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengecam tindakan MSF dan merekomendasikan pencabutan izin praktik hingga gelar dokter jika terbukti bersalah. “Perbuatan ini keterlaluan, mencoreng profesi kedokteran,” ujarnya.
- DPR: Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni, mendesak penangkapan MSF dalam 24 jam, bahkan mengancam penggantian Kapolres Garut jika pelaku tidak segera ditangkap. Wakil Ketua Komisi IX DPR, Nihayatul Wafiroh, menyebut tindakan MSF tidak mencerminkan etika dokter, melainkan seperti “penjahat.”
5. Modus dan Dampak pada Korban
Menurut pengakuan korban dan informasi yang beredar, MSF diduga menggunakan modus tertentu untuk mendekati pasien:
- Modus Operandi: MSF kerap mengirim pesan bernada rayuan, mengajak bertemu di kafe, atau mengungkapkan rasa suka meski tahu pasien sudah bersuami. Salah satu korban menyebut MSF menawarkan USG gratis sebagai bujukan. Selama pemeriksaan, ia diduga sengaja menyentuh area sensitif di luar prosedur medis, seperti dada atau bagian tubuh lain.
- Dampak Psikologis: Korban berinisial A mengaku stres hingga memutus komunikasi dengan MSF. Ia juga pindah rumah sakit untuk melahirkan setelah berkonsultasi dengan bidan yang menyebut tindakan MSF sebagai pelecehan. Korban lain, seperti E (usia kandungan enam bulan pada 2024), merasa trauma karena diperiksa di bagian tubuh yang tidak relevan dengan USG.