BUKTI PENYELEWENGAN
Laporan kasus DBHP didasari serangkaian temuan pelanggaran berat yang mengindikasikan penahanan anggaran desa tanpa dasar hukum, manipulasi pembukuan, dan penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat lintas periode.
DBHP Wajib Disalurkan, tetapi ditahan tanpa dasar jukum.
Menurut Zaenal sebagai Ketua KMP, DBHP bersifat mandatory spending, namun justru ditunda dan dibayar lintas tahun anggaran tanpa adanya Keadaan Luar Biasa (KLB). Temuan utama:
1. DBHP 2016 baru dibayar melalui SP2D 2020, sisa Rp 19,4 M belum tersalurkan.
2. DBHP 2017 baru dibayar di SP2D 2019 sebesar Rp 24,47 M.
3. DBHP 2018 dibayar di SP2D 2019, masih menyisakan Rp 257 juta.
4. Sisa DBHP 2016–2018 sebesar Rp 19,73 M dimasukkan ulang ke P-APBD 2025, seolah merupakan “utang desa”. ungkap Zaenal selesai keluar dari Gedung KPK
Selain itu, Zenal menuturkan dari total penundaan dan pembayaran lintas tahun mencapai Rp 71,7 miliar, menggambarkan pola pelanggaran yang tidak bisa lagi dijelaskan sebagai kesalahan teknis.
Indikasi penyimpangan yang semakin menguat setelah
KMP menemukan dugaan
1. Penyimpangan aliran dan penggunaan DBHP
2. Manipulasi pembukuan antar tahun anggaran
3. Penyesatan dokumen publik melalui narasi “utang DBHP”
4. Penyalahgunaan kewenangan oleh pemegang kas daerah
5. Potensi kerugian negara dan dugaan pemberian keuntungan kepada pihak lain
6. Upaya menutup kasus melalui P-APBD 2025 tanpa audit tracing
Pentolan Aktifis Purwakarta yang lain Tjetjep Saepulloh menyatakan bahwa penyimpangan tersebut memenuhi unsur pasal 2, 3, dan 15 UU Tipikor.
Menurut Tjetjep, pejabat yang terlibat mengarah pada:
1. Pejabat Pemkab Purwakarta periode 2016–2018
2. Pejabat Pemkab periode 2019–2023 dan 2025–2030
3. BPKAD/DPKAD sebagai pemegang kas daerah
4. OPD terkait perencanaan, penganggaran, dan penatausahaan keuangan
5. Unsur pimpinan DPRD yang menyetujui P-APBD tanpa audit dasar.
Sementara itu, disisi lain Dodi Permana Sebagai bagian dari rombongan yang turut serta melaporkan resmi ke KPK, mengatakan bahwa KMP menyerahkan lebih dari 40 dokumen bukti primer, sekunder, video, pernyataan publik, dokumen APBD–SP2D, hingga surat resmi pemerintah, yang seluruhnya menguatkan dugaan tindak pidana korupsi.














