TERASJABAR.ID – Pernah mendengar orang menyebut seseorang “baper banget, kayak orang BPD deh”? Atau malah kamu sendiri pernah merasa emosi naik turun, takut ditinggal, lalu bingung dengan siapa dirimu?
Borderline Personality Disorder alias BPD sering disalahpahami sebagai sekadar “emosi labil”. Padahal, gangguan ini jauh lebih kompleks dan kini, ilmu pengetahuan membongkarnya dari berbagai sisi, mulai dari struktur otak hingga kebiasaan scrolling media sosial.
Dalam sebuah studi bibliometrik terbaru dari Frontiers in Psychiatry (2024), tercatat lebih dari 8.000 publikasi membahas BPD selama dua dekade terakhir.
Fokus utamanya? Mulai dari neuroimaging otak, intervensi terapi non-obat, hingga pentingnya deteksi dini dan pencegahan.
Riset neurobiologis mutakhir menemukan bahwa individu dengan BPD mengalami gangguan di jaringan otak seperti frontolimbik dan default-mode network.
Ini menjelaskan kenapa emosi bisa sangat meledak-ledak, identitas terasa kabur, dan sulit percaya orang lain. Bukan soal “drama” tapi soal wiring otak yang memang berbeda.
Menurut ulasan PubMed (2024), terapi tetap menjadi penanganan paling efektif. Dialectical Behavior Therapy (DBT), Mentalization-Based Therapy (MBT), hingga Schema Therapy dianggap gold standard.
Sementara itu, MDPI (2025) menegaskan satu hal penting: Terapi butuh waktu, konsistensi, dan komitmen jangka panjang. Perubahan tidak terjadi semalam.
Menariknya, Frontiers (2024) menunjukkan bahwa setengah dari pasien psikiatri punya ciri-ciri BPD, tanpa perbedaan signifikan antara pria dan wanita.
Tapi wanita lebih banyak melaporkan rasa takut ditinggal, ledakan emosi, hingga kecenderungan melukai diri sendiri.
Jadi Borderline Personality Disorder bukan soal “drama”, “baper”, atau “lebay”. Ini adalah gangguan mental serius dengan basis biologis, psikologis, dan sosial yang kompleks.
Mengerti BPD berarti mengurangi stigma, membuka empati, dan mendorong mereka yang terdampak untuk mendapat bantuan yang tepat.
Kalau kamu tertarik diskusi lebih lanjut atau merasa beberapa gejala ini akrab dalam hidupmu, jangan ragu hubungi psikolog profesional ya.***