“Ini adalah kolaborasi sebenarnya dengan Pemerintah Daerah (Pemda), kita melibatkan Pertanian dan para penyuluh. Materinya itu sebenarnya adalah blending antara bagaimana memahami informasi iklim kemudian mengimplementasikannya ke dalam bahasa pertanian,” ungkapnya.
Selain aspek informasi iklim, BMKG menekankan pentingnya operasi modifikasi cuaca (OMC) sebagai instrumen pendukung pertanian nasional. OMC dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan curah hujan di wilayah tampungan air atau menahan hujan menjelang panen agar hasil tidak rusak.
Merujuk pada praktik internasional seperti Royal Rainmaking di Thailand, Faisal menyampaikan bahwa Indonesia sudah memiliki pengalaman OMC untuk mendukung produksi pangan, termasuk pada periode El Nino 2007.
Ia menilai Indonesia perlu membangun sistem yang terintegrasi, disesuaikan dengan kebutuhan dan kapasitas nasional.
Di sisi lain, diskusi juga menyinggung tantangan pengelolaan irigasi yang masih terfragmentasi akibat pembagian kewenangan antara pusat, provinsi, dan kabupaten. Kondisi ini membuat air kerap tidak tersalurkan secara optimal hingga ke lahan pertanian.
Menanggapi hal tersebut, Faisal menekankan bahwa keberhasilan revitalisasi irigasi dapat lebih tercapai jika dikaitkan dengan informasi iklim, mulai dari prakiraan hujan hingga peringatan dini kekeringan yang rutin disiapkan BMKG.
BMKG dan Kementan sepakat untuk mengintegrasikan tiga sumber data utama, data lapangan penyuluh, citra satelit pemantauan lahan, dan data serapan pupuk sebagai indikator aktivitas tanam.
Dengan integrasi tersebut, kedua lembaga berharap prediksi pola tanam dan estimasi produksi dapat disusun lebih akurat, sekaligus menjadi dasar bagi kebijakan pangan yang lebih presisi.














