Di sana saya merasa dapat lebih mengembangkan bakat dan karier saya sebagai wartawan, sebuah profesi yang saya yakini memiliki fungsi penting , yakni menjadi penggali, pengumpul dan pembawa berita kepada masyarakat luas.
Termasuk di dalamnya adalah berita atau informasi mengenai olahraga, bidang yang kemudian sangat saya tekuni dan cintai.
Wilayah tugas saya terus berkembang dan melebar tak hanya di dalam negeri tapi juga negara – negara di Asia , Eropa , Australia.
Tahun 1984, pada usia 40, saya mendapat tugas yang berat tapi memikat dari pimpinan Kompas.
Saya dan seorang rekan sesama wartawan olahraga ditugasi memimpin sebuah penerbitan yang terpaksa istirahat karena banyak hal.
Ia adalah sebuah majalah olahraga yang kemudian kami sulap menjadi tabloid dengan nama tak berubah : BOLA.
Kami berbagi tugas, rekan saya mengurusi sisi bisnis nya dan saya menangani masalah keredaksiannya.
Bertemu Maradona dan Tyson
Kehidupan baru, yang lebih berat tapi juga lebih bermakna segera menjadi hari – hari kegiatan saya.
Bersyukur semuanya terasa menggelinding dengan baik sampai kami bisa melepaskan diri dari ” pelukan ” Kompas tatkala usia tabloid baru empat tahun.
Tuhan ternyata terus memberikan berkat dan rahmatnya hingga BOLA terus dan tetap menjadi pemimpin pasar di tengah persaingan antarmedia yang begitu keras.
Dalam situasi dan kondisi seperti itu di tahun 2004 , pada usia 60, saya terpaksa harus meninggalkan BOLA yang telah melahirkan ” seorang adik ” , tabloid gaya hidup sehat SENIOR.
Masa pensiun harus saya jalani, meninggalkan begitu banyak kenangan indah dan manis maupun sulit dan menegangkan.
Di antara itu adalah ketika pada tahun 1989 saya mengejar dan berhasil menemui serta berwawancara singkat dengan dua atlet terbesar dan terpopuler di dunia waktu itu : pesepakbola Diego Maradona dan petinju Mike Tyson.
Tanggapan bagus dari pembaca atas hasil pertemuan saya dengan dengan Maradona ( di Firenze , Italia ) maupun Tyson ( di Las Vegas , AS ) itu sudah tentu menyenangkan.
Yang tak kalah menggembirakan adalah penghargaan atas prestasi saya dari pemerintah yang disampaikan langsung oleh Presiden Soeharto di Istana Negara pada 9 September 1995.
Hanya sebuah sertifikat , tapi penghargaan dari seorang kepala Negara tentu saja memiliki makna tersendiri.