Karena itu bantuan dan pertolongan yang ikhlas hendak diberikan datang secara sepontan tanpa lika-liku yang berbelit — apalagi cuma retorik politik demi pencitraan — atau bahkan menutupi masalah yang sedang dicecar oleh penegak hukum karena ulah serta keculasan dari perbuatan jahat yang sedang hendak disembunyikan, seperti pemilih lahan perkebunan kelapa sawit dan tembang yang bermasalah, mulai sejak proses untuk memperoleh konsesi lahan — yang langsung digunduli pepohonannya — hingga peranbahan batas ilegal dari yang segarusnya dikelola oleh pihak pengusaha.
Maka itu, sejumlah data dan fakta tentang lahan hingga pengusaha yang merasa memiliki kekuasaan untuk mengolah lahan tersebut sesuka hatinya, tampak sunyi dan tersembunyi dengan berbagai cara seperti dugatan kebakaran yang melanda pusat data dari perusahaan dron yang diduga menyimpan data yang dianggap dapat mengancam para pengusaha yang telah merusak alam dan lingkungan di berbagai wilayah dan rumput.
Oleh karang itu perburuan data tentang lahan konsesi untuk perkebunanan dan pertanbangan tak hanya di Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat semakin sulit ditemukan siapa penguasanya dan berapa ulasan lahan yang dikuasainya.
Sebab para penguasa yang menguasai sejumlah lahan tersebut saling menyembunyikan data miliknya masing-masing, sekaligus untuk dijadikan bargaining Power ketika harus saling membuka atau membongkar kobobrokannya masing-masing karena diperoleh secara tidak wajar.
Begitulah fenomena kejahatan berjamaah di negeri ini, sehingga harus ada pejabat tinggi dan tokoh masyarakat yang merasa perlu untuk menyatakan bahwa tak sejengkal pun pejabat tertentu yang menguasai lahan seperti yang ditengarai telah menimbulkan bencana besar bagi manusia Indonesia yang justru terkesan dianggap okeh prnerintah sebagai kejadian bias.
Sehingga bantuan dan ukuran tangan dari negara-negara tetangga jadi diabaikan. Bahkan tak hanta dianggap kecil, sehingga ada bantuan dari negara tetangga itu yang dipaksa untuk terus dikembalikan.
Idealnya bencana akibat ulah manusia yang rakus dan tamak ini semakin jelas akibat dari pembiaran terhadap proses hukum hingga tindak nyata yang tidak berpihak pada rakyat.
Karena itu sulit untuk dipercaya bahwa para pekaku kecukasan yang mengobral konsesi lahan untuk perkebunan dan pertambangan ini tidak pernah ajan tuntas diproses secara hukum yang berkeadikan.
















