KH. Hasyim Asy’ari pernah berkata, “Malu itu cahaya dalam hati. Jika cahaya itu padam, maka gelaplah jalan hidup manusia.” Begitulah, tanpa malu, kita tersesat dalam kegelapan gaya hidup yang semu.
Pejabat dan Hilangnya Integritas :
Namun fenomena paling mencolok justru ada di ranah pejabat dan elit politik. Korupsi dilakukan tanpa beban, bahkan masih bisa tersenyum di depan kamera. Skandal moral cukup “diredam” dengan konferensi pers. Janji politik diingkari seakan rakyat tidak pernah punya ingatan.
Malu sebagai benteng integritas telah mati. Para pemimpin yang seharusnya menjadi teladan justru memperlihatkan bahwa “tidak ada yang perlu ditutupi, asalkan berkuasa dan berduit.”
Imam Al-Ghazali pernah menulis, “Tanda hati yang sakit adalah hilangnya rasa malu dan lemahnya rasa takut kepada Allah.” Jika pejabat tidak punya malu, jangan harap rakyat belajar kejujuran. Apa yang dipertontonkan elit, akan ditiru generasi muda.
Akar Masalah
Mengapa rasa malu bisa hilang? Ada beberapa sebab:
- Normalisasi keburukan – semakin sering masyarakat melihat aib ditampilkan, semakin terasa biasa.
- Relativisme moral – benar dan salah dianggap bisa dinegosiasikan.
- Budaya digital – media sosial membuat semua hal bisa ditayangkan, tanpa saring, tanpa malu.
- Lemahnya keteladanan – ketika generasi muda melihat pejabat korup tanpa malu, mereka belajar bahwa tidak ada harga diri dalam bangsa ini.
Bahaya ke Depan :
Jika fenomena “bangsa tanpa malu” ini terus berlanjut, ada beberapa konsekuensi:
• Remaja kehilangan karakter – tumbuh tanpa rasa tanggung jawab.
• Keluarga kehilangan martabat – hidup hanya demi gengsi, bukan nilai.
• Negara kehilangan integritas – korupsi jadi normal, janji politik jadi sekadar iklan.
Dan pada akhirnya, bangsa ini bisa menjadi bangsa yang kaya sumber daya, namun miskin harga diri.