Oleh : Subchan Daragana
Pemerhati Sosial/ Magister Komunikasi UBakrie
Ada sebuah pepatah Arab yang sederhana namun menggetarkan hati: “Apabila rasa malu telah hilang dari dirimu, maka lakukanlah sesukamu.” Pesan singkat ini seperti peringatan abadi, bahwa malu adalah benteng terakhir moralitas manusia.
Tanpa malu, manusia bisa terjerembab dalam jurang tanpa dasar; dan bila sebuah bangsa kehilangan rasa malu, maka tunggulah kehancurannya.
Hari ini, kita hidup dalam fenomena yang mencemaskan: hilangnya rasa malu di hampir semua lini kehidupan. Dari remaja di dunia digital, para ibu yang tergoda budaya pamer diri , bapak-bapak yang sibuk mengejar gengsi, hingga pejabat yang tak lagi segan merampok uang rakyat. Malu, yang seharusnya menjadi pagar, justru ditinggalkan begitu saja.
Remaja: Malu yang Dicabut Algoritma
Generasi muda kita kini tumbuh dalam ekosistem digital yang meniadakan batas. Mereka berani menayangkan aib pribadi, memamerkan gaya hidup palsu, atau ikut tantangan berbahaya hanya demi likes dan views.
Rasa malu yang dulu menjadi benteng akhlak, kini tercabut oleh algoritma. Konten memalukan justru mendatangkan popularitas, dan parahnya—masyarakat ikut bertepuk tangan. Malu yang hilang berubah jadi hiburan massal.
Buya Hamka pernah mengingatkan, “Malu itu sebagian dari iman. Hilangnya rasa malu berarti hilangnya iman di hati seseorang.” Kata-kata ini bukan sekadar nasihat, melainkan cermin realitas hari ini.
Ibu-ibu dan Budaya Pamer :
Di sisi lain, banyak ibu rumah tangga terjebak dalam budaya konsumtif dan pamer, ikut berjoget joget seolah menjadi teladan anak. Tak lagi malu menunggak cicilan demi bisa memamerkan tas bermerek; tak malu mengorbankan keharmonisan keluarga demi gengsi sosial media.
Malu yang dulu menjaga harkat perempuan kini luluh lantak oleh tuntutan eksistensi. Dari gosip arisan hingga flexing digital, semua tampak lumrah. Padahal, di balik layar, banyak keluarga runtuh karena tak lagi punya malu untuk hidup sederhana.