Menurut Siti, melihat setiap konflik atau potensi-potensi konflik yang ada di masyarakat tentu ini harus diantisipasi, tentunya akan maksimal jika masyarakat juga ikut berperan serta karena masyarakat ini yang langsung berada di dataran paling bawah.
Ia mengatakan dalam Raperda Keberagaman Kehidupan Bermasyarakat tidak ada sanksi bagi yang konflik. “Jika terjadi konflik diselesaikan secara musyawarah mulai di tingkat RT RW. Bisa musyawarah di sampai tingkat kelurahan, Kecamatan jika tidak selesai di RW,” ujarnya.
Untuk melengkapi Perda, Pansus mengundang berbagai unsur untuk diminta pendapat dan saran.
“Kami undang berbagai forum, mulai Forum RW, lurah, camat, Forum keagamaan karena mereka yang di lapangan secara langsung berhadapan dengan konflik,” ujarnya.
Siti Marfuah mengatakan, Pansus mengadakan studi tiru ke Semarang dan Salatiga karena sudah memiliki Perda.
“Toleransi antar agama dan etnis di Semarang dan Salatiga cukup bagus dan nyaris tak ada konflik karena selalu menjalin komunikasi bahkan buka warung tempat pertemuan,” ujar Siti.
Menurut Siti, seringnya silaturahmi dan komunikasi antar beragam agama, etnis, budaya duduk bersama bisa meminimalisir konflik.
“Jika kurang komunikasi sering terjadi salah paham sehingga sulit diselesaikan jika terjadi konflik apalagi disertai kepentingan ekonomi, ” ujarnya.
Contohnya konflik yang tidak kunjung selesai terkait akses jalan Cipedes karena kurangnya komunikasi dan banyaknya kepentingan. “Kasus akses jalan Cipedes, sangat memicu konflik makanya harus segera diselesaikan, karena jika dibiarkan akan menjadi preseden buruk,” pungkas Siti.***