Oleh : Subchan Daragana / Pemerhati Sosial , Magister Komunikasi Universitas Bakrei
Di zaman ketika orang sibuk mengejar target besar, pekerjaan menumpuk, dan aktivitas terasa makin melelahkan, ada satu pelajaran penting yang sering luput kita sadari, ternyata hidup ini dibangun bukan oleh momen spektakuler, tetapi oleh kebiasaan kecil yang kita ulang setiap hari. Banyak orang mengejar perubahan besar, tetapi kehabisan tenaga di tengah jalan. Sementara itu, sejumlah kecil manusia melangkah pelan, konsisten, tidak heboh, tetapi setelah beberapa tahun mereka berubah total lebih tenang, lebih produktif, lebih dekat kepada Allah, dan lebih bahagia.
Belakangan ini banyak orang membicarakan buku Atomic Habits, sebuah gagasan bahwa perubahan kecil yang dilakukan secara konsisten bisa menghasilkan dampak besar. Namun jauh sebelum buku populer itu terbit, Nabi Muhammad ﷺ dan para ulama sudah mengajarkan fondasi yang sama bahkan lebih mendalam.
Dalam hadits sahih, Nabi bersabda bahwa amal yang paling dicintai Allah adalah yang dilakukan terus-menerus meskipun sedikit. Kalimat ini bukan hanya petunjuk spiritual, tetapi sebenarnya adalah prinsip manajemen diri yang luar biasa, sekaligus peta jalan perubahan yang selaras dengan cara kerja manusia.
Membaca ulang ajaran Nabi dengan perspektif kekinian membuat kita semakin sadar bahwa Islam telah menawarkan blueprint pembentukan karakter yang sangat maju. Bahkan jika dilihat dari kacamata psikologi modern, ajaran itu sangat “ilmiah”, realistis, manusiawi, dan aplikatif.
Salah satu prinsip besar yang Nabi ajarkan adalah memulai perubahan dari “identitas”, bukan dari pencapaian. Nabi membentuk para sahabat dengan kalima yang mengangkat identitas mereka, “Kalian adalah umat terbaik…”; “
“Mukmin yang kuat lebih dicintai Allah…”; “Muslim adalah orang yang selamat orang lain dari lisan dan tangannya.”
Identitas ini membuat para sahabat bergerak bukan karena tekanan, tetapi karena kesadaran diri. Saat seseorang merasa dirinya adalah hamba Allah, maka shalat bukan lagi beban. Ketika seseorang merasa dirinya adalah penuntut ilmu, maka membaca satu paragraf buku sudah cukup untuk menjaga nyala perjalanan panjangnya.
Selain identitas, Islam juga menekankan betapa kuatnya pengaruh lingkungan terhadap pembentukan kebiasaan. Nabi mengingatkan bahwa seseorang mengikuti agama sahabat dekatnya. Para ulama menguatkan nasihat ini, duduk bersama orang saleh membuat hati ikut terang, duduk bersama pedagang membuat kita ingin berdagang, sementara duduk bersama orang yang jauh dari nilai-nilai baik membuat kita ikut hanyut. Ini sejatinya sama persis dengan konsep “make it obvious” dalam ilmu kebiasaan modern, lingkungan adalah pemicu perilaku. Tanpa harus menghafal teori rumit, cukup dengan mengubah apa yang kita lihat setiap hari, kehidupan kita bisa ikut berubah.














