Dari sisi agama, fenomena ini bukan sekadar sosial, tapi juga spiritual. Islam mengajarkan haya’ (malu) sebagai cahaya iman. Rasulullah SAW bersabda: “Malu itu cabang dari iman.” (HR. Muslim).
Namun di dunia digital, nilai malu semakin redup. Banyak yang lupa bahwa setiap kali kita menekan “upload”, kita sedang membuka pintu penilaian manusia dan menutup ruang keikhlasan. Amal baik dipamerkan, kesedihan dijual, tubuh dipertontonkan. Ini bukan hanya soal etika, tapi tentang hilangnya kesadaran diri sebagai hamba yang diawasi Allah, bukan pengikut.
Psikologi modern memberi penjelasan ilmiah atas kegelisahan ini. Otak manusia menghasilkan dopamin, hormon kebahagiaan, setiap kali mendapat notifikasi, “like”, atau komentar. Rasa senang itu adiktif. Lama kelamaan, kita tidak lagi posting untuk berbagi, tapi untuk mendapat validasi. Kita merasa kosong jika tak ada yang menanggapi. Kita seperti pengemis di dunia maya mengemis perhatian, bukan karena butuh, tapi karena terbiasa diberi.
Dari sini lahirlah delusi digital: merasa dicintai karena disukai, merasa berharga karena dilihat, merasa bahagia karena viral. Padahal, semua itu semu. Sherry Turkle (2011) menyebutnya sebagai paradoks kedekatan“kita semakin terhubung, tapi semakin sendiri.” Kita punya ratusan teman di media sosial, tapi kehilangan satu sahabat sejati di dunia nyata.
Namun, tidak semua gelap. Dalam pandangan sosiologi kontemporer, seperti dikatakan Anthony Giddens, modernitas harus dihadapi dengan refleksivitas. Artinya, manusia perlu sadar dan memilih secara bijak bagaimana teknologi digunakan. Dunia digital tidak harus menjadi ruang kehilangan moral, tetapi bisa menjadi medan dakwah, pendidikan, dan solidaritas sosial asal dijalankan dengan kesadaran nilai dan tanggung jawab.
Untuk itu, kita perlu membangun literasi moral digital. Orang tua harus jadi teladan, bukan sekadar pengawas. Sekolah perlu menanamkan nilai etika digital, bukan hanya kecakapan teknologi. Para influencer dan konten kreator harus paham bahwa setiap unggahan adalah dakwah sosial, yang bisa menebar nilai atau menebar luka. Dan pemerintah, lewat kebijakan komunikasi publik, perlu memastikan ruang digital kita lebih sehat, adil, dan beradab.
Menjadi manusia di era digital bukan berarti menolak teknologi, melainkan menguasainya dengan kesadaran. Dunia digital seharusnya memperluas kebaikan, bukan menambah keburukan. Kita perlu kembali memahami diri: bahwa yang membuat manusia mulia bukan jumlah pengikut, melainkan kedalaman nilai.
“Teknologi boleh menciptakan dunia maya, tapi hanya manusia berhati jernih yang bisa menjaga dunia nyata.”
Maka, sebelum menekan tombol “unggah”, mari bertanya pada hati: apakah ini akan mendekatkan kita kepada manusia, atau justru menjauhkan kita dari kemanusiaan? Karena sejatinya, bukan dunia digital yang berbahaya tetapi manusia yang lupa batas antara eksistensi dan pameran.***












