Lantas dana bantuan hibah yang juga terbukti mubah. Bernilai ratusan miliar hingga melewati angka triliun. Terkesan serakah, berbuah masalah. Apa hendak dikata, dewan terkena getah.
Sejumlah kalangan mengritisi keberadaan program Pokir. Dalam aturannya, merujuk pada peran aspirasi rakyat. Namun dikemas dalam “keraguan” implementasi. Pokir memungkinkan berseliweran para operator yang berujung peran bohir. Bahwa bohir adalah pemilik modal atau pelaku proyek. Sampai di sini, Pokir tak bersinggung langsung dengan aspirasi rakyat.
Terendus, Pokir lebih merupakan sejumlah program yang dilabel “aspirasi” dewan. Mencakup alokasi (nominal) anggaran hingga lokasi kegiatan. Direalisasikan melalui program dan kegiatan di SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah). Meliputi dinas, biro dan lembaga. Sebutlah paket titipan, selebihnya “saling titip”. Tersirat “TsT” (Tahu sama Tahu –pen).
Di posisi ini pula hadir peran pihak ketiga berlabel bohir. Keberadaan nyaris tak tampak, kecuali melalui peran operator tadi. Malah diduga “kerjasama” dengan aparat penegak hukum (APH), yang memungkinkan tak terendus sebagai pelanggaran.
Darinya, ditengarai berlaku cash back. Konon rerata berkisar tujuh prosen dari baku anggaran. Konon pula setiap anggota dialokasikan sekitar Rp14 miliar per tahun anggaran. Dimungkinkan cash back senilai Rp980 juta. Bila mulus periode (lima tahun) jabatan, tinggal dikalikan saja. Sejumlah itu, masih dimungkinkan ruas jalan lain melalui pendampingan bantuan dana hibah atau bangub.
Di luar kacamata publik, keberadaan Pokir dikaitkan dengan modal nyaleg. Bagi sejumlah petahana, bahkan sudah kadung menempuh cara “ijon” untuk program tahun anggaran sebelumnya. Alih-alih lancarjaya, malah bertabrakan “adu banteng” dengan kebijakan new release KDM. Menelan korban cedera.
Barangkali, KDM berpendapat — bahwa take home pay awak dewan — sudah lebih dari cukup. Lantas, mengingatkan untuk menukik pada peran perwakilan rakyat dalam kemasan “turba” alias “turun ke bawah”.
Sependek pengetahuan, Pokir yang berbalut aspirasi rakyat — semula bertajuk Jaringan Aspirasi Rakyat (Jasmara). Cenderung disamarkan menjadi Pokir. Dimungkinkan lewat kesepakatan Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia (ADPSI).
Namun sejumlah pengamat sudah lebih awal mengritisi keberadaan Pokir. Sebelumnya disebut Jasmara, yang lebih tegas dan lugas — hingga membuka ruang lebar dan bagi keberlangsungan aspirasi rakyat. Mencakup agenda reses dewan, berupa interaksi langsung dengan konstituen di daerah pemilihan (dapil). Bertujuan mencerap aspirasi hingga menyusun kebijakan yang lebih relevan dengan kebutuhan masyarakat.