TERASJABAR.ID – Tahun 2025 mencatat satu ironi lain dalam penyelenggaraan demokrasi Indonesia. Kasus penyewaan dan penggunaan jetpri (jet pribadi) mewah oleh jajaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi sorotan tajam publik, bukan hanya karena nilainya yang fantastis, tetapi juga karena sanksi yang dinilai jauh dari rasa keadilan.
Dana negara sekitar Rp90 miliar digelontorkan untuk menyewa jet pribadi, namun ujungnya hanya berbuah peringatan keras bagi Ketua, Sekjen, dan empat komisioner KPU.
Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) itu menimbulkan kekecewaan luas.
Dalam sidang etik terungkap bahwa dari 59 kali penerbangan yang dilakukan, tak satu pun sepenuhnya sejalan dengan tujuan awal penyewaan jet, yakni distribusi logistik Pemilu 2024.
Fakta ini menegaskan adanya kesalahan kolektif di tingkat pimpinan lembaga penyelenggara pemilu.
KPU bahkan memilih jenis jet mewah Embraer Legacy 650, sebuah keputusan yang sejak awal memantik tanda tanya publik.
Dalih untuk efisiensi distribusi logistik runtuh setelah bukti perjalanan menunjukkan aktivitas lain. Mulai dari kunjungan monitoring gudang, menghadiri bimbingan teknis KPPS, penyerahan santunan petugas ad hoc, hingga pemantauan pemungutan suara ulang di Kuala Lumpur.
Dalam kaleidoskop demokrasi 2025, perkara ini menjadi simbol rapuhnya akuntabilitas lembaga publik.
Sanksi yang terdengar keras di atas kertas ternyata nyaris tanpa dampak nyata.
Publik pun bertanya, sejauh mana etika penyelenggara pemilu benar-benar ditegakkan ketika pelanggaran besar hanya berujung teguran.
Kasus jet KPU akhirnya menjadi cermin buram tentang bagaimana uang rakyat dan integritas demokrasi kerap diperlakukan dengan ringan.-***











