TERASJABAR.ID – Di ujung senja berlatar pandang sawah yang lunglai karena dalam beberapa hari terendam banjir kiriman, seolah menyatakan bahwa desa nya kini sedang berduka, karena panen yang dijadwalkan gagal total. Sawah padinya roboh campur lumpur, cuman ada sekelompok binatang yg tak punya ‘hati’, yaitu si kodok bancet malah bernyanyi bersahutan dengan riang gembira.
Dalam suasana kebingungan, sejumlah Masyarakat petani yg enggan pulang ke rumahnya saling curhat di tepian sawah berlumpur itu. Dalam curhatannya mereka kebingungan bakal di tagih para pemasok pupuk, bank hingga rentenir. Mereka tdk paham kalau kondisi ini karena kejadian posmajer, bencana alam yg tdk diduga duga.
Dalam kondisi kebingungan seperti ini, seharusnya pemerintah hadir mentralisir mental para petani yang down. Para petani jugalah yang berjasa menunjang stok pangan nasional.
Diantara petani itu ternyata ada yang mampu ngademi. Tenang bro, kita kan juga pembayar pajak yg setia. Seluruh tanah sawah kita dan kekayaan lainnya, sudah bayar pajak. Kita positif aja, ‘pemerentah‘ akan hadir.
Cerita viksi itu hanya sebagian kecil dari gambaran perdesaan pada umumnya di negeri konaah.
Sementara di pusat pemerintahan konaah, para menteri dan anggota dewan memang sibuk jumpa pers. Mereka saling klaim sudah ikut menyalurkan berbagai bantuan juga solusi utk memulihkan kembali kondisi .
Tapi faktanya masih banyak yang menjerit. Di level tertentu justru banyak yang di untungkan. Masyarakat di negeri konaah itu malah dikagetkan dengan hilangnya 80 ton bantuan sosial, yg hingga kini belum diketahui kemana rimbanya.
Susah juga memang di negeri yang penuh dengan mental koruptor ternyata berteman dengan Penjilat.
Di negeri ini memang sdh di kenal puluhan tahun dengan koruptor dan penjilat. Keduanya merupakan pasangan kuat untuk merongrong juga merontokkan Republik ini.
Negeri ini sangat empuk dan subur untuk para pejabat bermental koruptor. Mengapa? Karena sebagian warganya bermental penjilat.
Para koruptor sengaja menyemai Kemiskinan struktural, masyarakat marginal mereka menyebutnya. Mereka biarkan hidup dalam kemiskinan struktural. Punya keturunan nikah dengan sesama miskin dan lahir miskin lagi. Begitu dan begitu.
Tanaman miskin itu setiap 5 tahun sekali, di paksa untuk memilih calon pemimpin dan calon anggota dewan yang mampu menebar sembako ‘beracun’.
Para penjilat yang sudah memang diciptakan, karena kebutuhan mendesak akhirnya memilih nya. Tanpa milihat kualitas yang dipilihnya. Hanya satu menit di bilik suara, negeri konaah itu hancur lebur. Sedangkan orang orang pandai dan berkualitas , sangat sulit untuk menang dalam kontes.
Sampai kapan para penjilat ini bisa hilang dan hanya rela menjual harga diri dengan 30,40,50 hingga 100 ribu. Tentu juga tidak sedikit dengan penjilat kelas kakap.
Salah siapa?
Harus jujur , ini juga salah masyarakat, yang sebagian besar masih mau harga dirinya dijual sana sini.
Mengapa ada koruptor dan penjilat bisa subur di negeri ini?
Salah satu penyebabnya, ujar seorang developer yang tinggal di Cirebon, adalah karena ada kewenangan Partai yang sangat berlebihan. Partai lah yg membuat ada raja raja kecil di daerah.
Bupati Walikota tidak khidmat ke gubernur, gubernur kurang hormat kepada Presiden. Mereka lebih hemat kepada partai. Mereka pura pura lupa klo sudah jadi pemimpin itu adalah rakyat yg jadi panglimanya bulan partainya. ” Satu satunya jalan , peraturan kepartaian harus di revisi total” Ujar konsultan developer itu.
Essay semacam ini terus berulang di turunkan, dgn maksud utk terus mengingatkan agar anak cucu kita hidup dalam kedamaian, tanpa terhimpit dan mati konyol di lumbung padinya sendiri.
Salam NKRI HARGA MATI DARI CIREBON
Selamat jalan 2025 dan selamat datang 2026.

















