Oleh : Subchan Daragana/ Pemerhati Sosial , Magister Komunikasi Universitas Bakrie
(Fenomena Kursi KRL dan Etika Urban)
Sebuah video di kereta listrik Jakarta mendadak viral. Seorang perempuan muda tetap duduk di kursinya ketika seorang ibu yang tampak lebih tua berdiri di depannya. Perempuan itu beralasan ia tidak duduk di kursi prioritas, ia juga sedang sakit kepala, dan karena itu merasa tidak berkewajiban mengalah. Situasi memanas, sang ibu terpancing emosi dan melontarkan kata-kata kasar. Video itu kemudian diunggah sendiri oleh si perempuan muda. Ribuan komentar pun mengalir, dan yang mengejutkan, banyak yang membenarkan sikapnya.
Di titik ini, persoalannya bukan lagi soal kursi. Ini tentang pergeseran nilai, ketika hak berdiri lebih tinggi daripada adab.
Dalam perspektif sosiologi, kita sedang hidup di era individualisme fungsional setiap orang menilai tindakannya semata dari aturan formal dan kepentingan pribadi. Selama “tidak melanggar aturan”, maka ia merasa sah, bahkan benar. Etika sosial yang dulu hidup dalam rasa, kini dikerdilkan menjadi pasal dan hak administratif.
Ilmu komunikasi menyebut ini sebagai framing moral. Media sosial membingkai realitas secara potongan, tanpa konteks utuh. Yang terlihat bukan relasi manusia, melainkan posisi, siapa benar, siapa salah. Empati kalah oleh logika defensif. Ditambah lagi, algoritma media sosial cenderung mengangkat konten yang memicu emosi, bukan konten yang mengajak merenung. Maka kemarahan, pembelaan diri, dan pembenaran massal menjadi konsumsi harian.
Dalam Islam, persoalan ini jauh lebih dalam. Rasulullah ﷺ tidak pernah mengajarkan umatnya berhenti pada “hak”. Beliau justru mengajarkan ihsan, melakukan kebaikan bahkan ketika kita tidak diwajibkan. Dalam sebuah hadis disebutkan, “Bukanlah orang kuat itu yang menang dalam bergulat, tetapi orang kuat adalah yang mampu menahan amarahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).












