Oleh Subchan Daragana – Pemerhati Sosial & Magister Komunikasi Universitas Bakrie
Di zaman ketika hampir semua orang memulai hari dengan membuka gawai, satu kenyataan tak bisa kita hindari, kehidupan publik Indonesia kini dikuasai platform media sosial. Ruang digital tidak lagi sekadar tempat berbagi cerita, melainkan arena politik, pasar ekonomi, ruang pendidikan, bahkan medan pertempuran mental. Maka pertanyaan besar pun muncul, apakah negara masih punya kendali, atau kita sudah sepenuhnya menjadi warga “Republik Algoritma”?
Dua dekade terakhir, Indonesia mengalami lonjakan penggunaan internet yang tak pernah terjadi sebelumnya. Namun di balik manfaat luar biasa dari UMKM digital hingga gerakan sosial media sosial juga menciptakan gelombang masalah, penyebaran hoaks, polarisasi politik, adiksi layar, eksploitasi data, hingga rusaknya komunikasi keluarga. Ironisnya, fenomena secepat ini tidak diimbangi kebijakan yang cukup kuat. Pemerintah seperti berlari sambil mengejar bayang-bayang mesin global yang jauh lebih gesit.
Indonesia memang memiliki instrumen regulasi, UU ITE, Permenkominfo 5/2020, dan UU PDP yang baru disahkan. Namun efektivitasnya dipertanyakan. Kebijakan lebih banyak bekerja sebagai pemadam kebakaran, bukan peta jalan yang mampu menjawab ancaman struktural dari platform digital raksasa.
Bandingkan dengan negara lain yang sudah bergerak lebih cepat. Australia dengan Online Safety Act nya menekan platform untuk bertanggung jawab atas konten berbahaya. Singapura lewat POFMA mengatur ketat disinformasi dan mewajibkan koreksi publik. Tiongkok menciptakan aturan transparansi algoritma dan membatasi jam penggunaan media sosial bagi remaja. Di Indonesia, langkah seperti ini masih jauh dari kenyataan.
Padahal kita berhadapan dengan kekuatan yang tak tampak. Algoritma bekerja seperti struktur sosial baru yang mengatur ritme kehidupan masyarakat. Ia mengarahkan apa yang kita lihat, pikirkan, dan percayai. Ia memicu emosi, mempercepat konflik, dan membentuk opini publik secara masif, tanpa mekanisme pertanggungjawaban. Sosiolog Anthony Giddens menyebut fenomena seperti ini sebagai “strukturasi”, struktur yang tak kasatmata namun sangat dominan dalam mengarahkan tindakan manusia.

















