Oleh Dr. A. Effendy Choirie, M.Ag, M.H Ketua Umum DNIKS, Anggota DPR/MPR RI 1999–2013
Pendahuluan
Setiap 10 November, bangsa Indonesia mengenang pertempuran heroik di Surabaya tahun 1945. Hari ini bukan sekadar ritual sejarah, tetapi momentum menghayati kembali makna kepahlawanan, kemerdekaan, dan cita-cita kesejahteraan sosial.
Para pahlawan berjuang bukan untuk kemewahan elite, bukan untuk konsesi politik, dan bukan pula agar bangsa ini berkutat dalam kemiskinan struktural.
Mereka berjuang agar rakyat merdeka, sejahtera, dan bermartabat. Tugas kita hari ini adalah memastikan amanat itu benar-benar terwujud.
Filosofi Kepahlawanan: Dari Perang Fisik ke Perang Kesejahteraan
Kepahlawanan Indonesia lahir dari semangat pengorbanan, keikhlasan berjuang, cinta tanah air, dan keberpihakan pada rakyat kecil.
Kini bentuk perjuangan itu berubah dari medan pertempuran bersenjata menjadi medan perjuangan sosial, ekonomi, dan kemanusiaan. Pahlawan hari ini adalah mereka yang memperjuangkan hak pendidikan, kesehatan, pekerjaan layak, dan kehidupan manusiawi bagi semua rakyat.
Kemerdekaan dalam Perspektif Kesejahteraan Rakyat
Pembukaan UUD 1945 menegaskan empat mandat negara: melindungi segenap bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa, menyejahterakan seluruh rakyat, dan berpartisipasi dalam ketertiban dunia.
Kemerdekaan belum sempurna selama masih ada rakyat miskin, penyandang disabilitas belum merdeka dalam akses layanan, lansia belum terjamin kesejahteraannya, petani dan nelayan belum hidup layak, akses pendidikan dan kesehatan masih timpang, kekayaan alam belum sepenuhnya menjadi kemakmuran rakyat, dan korupsi serta oligarki menggerus masa depan bangsa.
 








 
 





