Oleh Prof. (HC) Dr. Pius Lustrilanang, S.Ip., M.Si.
Gelombang kasus keracunan massal di beberapa sekolah penerima program Makan Bergizi Gratis (MBG) menggores ironi dari niat baik pemerintah. Program yang digadang untuk meningkatkan gizi anak justru melahirkan risiko kesehatan dan krisis kepercayaan publik. Pertanyaan publik pun menguat: apakah negara benar-benar siap dengan standar keamanan pangan berskala nasional?
Di tengah gempuran persoalan itu, ada hal yang kerap luput dari perhatian: program makan bergizi bukan semata soal logistik, melainkan juga investasi jangka panjang. Gizi yang baik menentukan kualitas sumber daya manusia, kemampuan belajar, hingga produktivitas generasi mendatang. Karena itu, kegagalan program ini bukan hanya soal teknis, melainkan juga risiko terhadap masa depan bangsa.
Jepang, Korea Selatan, dan Finlandia sudah lebih dulu membuktikan bahwa keberhasilan program makan bergizi di sekolah bergantung pada kombinasi standar higienis, pengawasan ketat, serta keterlibatan masyarakat. Dari mereka, Indonesia bisa belajar untuk menjadikan MBG bukan sekadar proyek politik, melainkan fondasi pembangunan manusia.
Jepang: Kyūshoku sebagai Pendidikan Gizi.
Sejak awal abad ke-20, Jepang mengenal sistem kyūshoku atau makan siang sekolah. Setiap sekolah memiliki dapur higienis dengan standar tinggi, tenaga nutrisionis, dan menu yang disusun berdasarkan kebutuhan gizi anak. Lebih dari sekadar pemberian makan, kyūshoku adalah sarana pendidikan gizi. Anak-anak belajar tentang asal-usul bahan pangan, pentingnya keseimbangan gizi, hingga budaya makan sehat (Otsuka, 2014, Journal of School Health).