OLEH : IMAM WAHYUDI (JURNALIS SENIOR)
BELAKANGAN ini terdengar suara sumbang dari kalangan DPRD provinsi. Bersilang jalan dengan kebijakan Gubernur Jabar — Dedi Mulyadi.
Suara sumbang terendus soal program Pokir (pokok pikiran –pen) yang terkena imbas penghematan. Alokasi anggaran itu didrop atau dilakukan penundaan. Lantas, muncul beredar istilah “dinolkan” alias ditiadakan. Entahlah, berlaku permanan atau sementara.
Dedi Mulyadi, yang kerap disapa Demul atau Kang DM (KDM) tengah gencar dan fokus penghematan anggaran. Antara lain koreksi program yang berujung pada output dan outcome. Produk yang dihasilkan dan dampak kegiatan. Berupa pergeseran alokasi anggaran lewat reposisi program dan kegiatan hingga perubahan nomenklatur.
Pokir dapat diartikan sebagai “kepentingan” politik dewan. Nomenklatur Pokir sudah bergulir saban tahun anggaran. Lazim menjadi tradisi berbagi (alokasi anggaran) yang siap dinanti.
Rupanya publik sudah menangkap pesan “tersembunyi” di balik fenomena kebijakan KDM. Tentang nyanyian rampak bait Pokir. Aspirasi dewan yang tak sertamerta sebagai aspirasi rakyat yang seharusnya. Berbanding terbalik dengan kebijakan KDM yang dipandang populis.
Kebijakan merujuk pada pendekatan peran atas kepentingan rakyat (bawah). Populisme dalam arti rakyat sebagai kelompok terpinggirkan. Sementara elit dianggap korup dan tidak peduli terhadap kepentingan rakyat.
Kebijakan KDM yang menukik dan terbilang membumi, tak lepas dari picu dari sistem kelola pemerintahan sebelumnya. Olah program dan anggaran yang berseliweran tak karuan. Picu itu antara lain soal “lembaga” TAP (Tim Akselerasi Pembangunan) yang diduga kolutif. Bahkan terindikasi koruptif, yang menyedot anggaran atasnama kolega dan kroni.