KONON pada masa kejayaan Kesultanan Cirebon, di lereng Gunung Ciremai, ada sebuah kampung termasyhur akan kekayaannya. Kampung itu bernama Padabeunghar. Nama itu “penuh kemakmuran.” Hamparan sawah terbentang luas, lumbung padi melimpah, dan masyarakat hidup makmur “gemah ripah repeh rapih loh jinawi” .
Berdasarkan keterangan yang dikutip dari laman Satria Perjuangan bahwa, di tengah kampung itu, berdirilah rumah megah milik seorang juragan sawah yang kaya raya. Ia dikenal arif dan dermawan, memiliki dua anak: seorang gadis sulung yang cantik namun berhati keras, dan seorang putra bungsu bernama Satria, yang dikenal jujur, lembut, dan gemar menolong.
Namun, segalanya berubah setelah sang juragan dan istrinya wafat secara mendadak karena wabah misterius. Warisan besar menjadi api dalam sekam. Sang kakak, yang telah lama menyimpan ambisi, menghasut para tetua dan warga agar seluruh harta warisan jatuh ke tangannya. Dengan dukungan orang-orang kampung yang telah ia sogok, ia berhasil mengusir adiknya sendiri, Satria, dari rumah peninggalan orangtua mereka.
Satria pun terusir dengan tangan hampa. Bahkan beras yang tersisa di gudang pun tak diberi sebutir. Dihina dan diusir, Satria menatap kampung halamannya untuk terakhir kali, lalu melangkah menuju gunung yang menjulang di kejauhan: Gunung Ciremai.