TERASJABAR.ID – Rencana Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi untuk mengirim siswa bermasalah ke barak militer selama enam bulan menuai kritik tajam dari sutradara ternama Joko Anwar.
Kebijakan yang diumumkan Dedi pada Minggu, 27 April 2025, bertujuan untuk membina karakter dan perilaku siswa nakal melalui pendidikan disiplin di bawah pengawasan TNI dan Polri. Namun, Joko Anwar menilai pendekatan ini tidak tepat dan gagal mengatasi akar masalah kenakalan anak.
Dedi Mulyadi, yang baru menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat sejak Februari 2025, mengungkapkan rencananya di Bandung. Ia menyatakan bahwa program ini akan dimulai di daerah rawan kenakalan remaja, dengan siswa bermasalah dijemput langsung oleh TNI ke rumah mereka.
Selama enam bulan, siswa tidak akan mengikuti sekolah formal, melainkan menjalani pembinaan di barak militer untuk memperbaiki karakter dan perilaku. “Jadi, di sana untuk dibina karakter dan perilakunya,” ujar Dedi, menegaskan bahwa program ini diharapkan mengubah siswa menjadi pribadi yang lebih baik saat kembali ke masyarakat.
Namun, Joko Anwar dengan tegas menolak pendekatan ini melalui unggahan di akun X pribadinya pada Senin, 28 April 2025. “Kang @DediMulyadi71, mengirim anak-anak yang ‘bermasalah’ ke barak militer atau institusi yang mengajarkan kedisiplinan dengan kepatuhan bukan solusi yang tepat,” tulis Joko.
Ia menilai bahwa pendidikan militer hanya akan mengondisikan anak untuk patuh tanpa memahami akar masalah perilaku mereka. Menurutnya, anak-anak bermasalah membutuhkan pemahaman emosi, penyembuhan trauma, dan bimbingan personal, bukan sekadar pelatihan kepatuhan. “Barak militer tidak dikondisikan untuk memberikan kebutuhan ini,” tegasnya.
Joko juga menyinggung filmnya, Pengepungan di Bukit Duri, sebagai referensi untuk memahami pendekatan yang lebih manusiawi dalam menangani anak-anak bermasalah. “Kalau sempat, nonton Pengepungan di Bukit Duri ya, Kang. Nuhun,” tulisnya dengan nada santai namun penuh sindiran.
Film tersebut, yang menggambarkan dinamika sosial dan emosional, dianggap Joko sebagai cerminan pentingnya memahami konteks perilaku anak ketimbang menerapkan solusi instan seperti pelatihan militer.